Jumat, 13 Mei 2011

Berserah

 
 
Aku tak tahu harus berbuat apa, aku sangat limbung. Kehidupan indah yang aku bayangkan sejak awal ternyata hanya secuil asa yang tiada nyata. Bagaimana tidak, sejak kecil aku di asuh nenek dan kakek di sebuah kota kecil. Kini tibalah aku harus membaur dengan keluarga intiku, papa, mama dan saudara kandungku. Harusnya aku bahagia kembali dalam pelukan kelurgaku yang utuh. Tapi ternyata bahagia itu masih jauh dari anganku sebagai gadis yang baru saja menginjak usia dewasa.


Saat papa dan mama meminta untuk mengambil aku dari kakek nenek, setelah lepas sekolah menegah, melambunglah harapanku. Walau kakek dan nenek sangat menyayangiku, tapi aku juga ingin menjadi bagian dari keluarga yang utuh ada papa mama dan  adik. Bahagiaku tak terkatakan saat dalam bus kota yang membawaku ke kota tempat keluargaku tinggal. Aku membayangkan kasih sayang dari orang tuaku dan juga adikku seperti teman temanku di desa. Mereka bisa makan dan bercanda bersama. Aku tak sabar menantikan saat seperti ini.


Tapi takdir Illahi telah menuliskan sesuatu buatku, bukan bahagia seperti anganku, tapi kepedihan yang sangat. Belum genap satu bulan aku berkumpul dengan papa mama dan saudaraku, aku di kejutkan oleh pertengkaran kedua orang tuaku. Waktu itu siang hari bolong, adik adikku tak ada di rumah, mereka belum pulang sekolah. Papa berteriak, mama tak mau kalah sambil menangis meraung raung, berteriak ke arah papa juga. Dan aku hanya bisa mendengarkan mereka, tanpa bisa berbuat apa  apa.


Aku terduduk di sudut kamar, aku ketakutan. karena seumur hidup bersama kakek nenek aku belum pernah menyaksikan orang bertengkar seperti itu. Mulutku tak henti hentinya mendoa agar mereka berhenti bertengkar.


Sekejab aku di kagetkan oleh pintu kamar yang di buka secara paksa oleh papa. Lalu papa memukulku dan mengatakan kata kata yang tak ku mengerti. Aku tak sempat mengelak lagi, dan aku hanya bisa menangis. Ada apa dengan papaku ? aku bertanya dalam hati, kenapa bertengkar dengan mama, kok aku juga menjadi sasaran kemarahannya. Padahal selama ini papa sangat sayang padaku, bahkan setelah mengetahui aku suka menyanyi papa membelikan aku sebuah tape recorder buat di kamar ku. Papa juga sering memberi uang padaku dan berpesan agar uang itu di simpan baik baik buat keperluanku sendiri. Tapi mengapa papa jadi sedemikian kalap hingga marah dan memukul ku?.


Jawabannya aku temukan seminggu sesudah peristiwa itu. Tante ku -adik papa- datang berkunjung dan minta ijin membawa ku ke rumahnya. Tante Lala ini kangen padaku dan aku di ajak menginap di sana. Didalam angkutan umum tante Lala bercerita bahwa papa sangat menyesal telah marah padaku, tapi waktu itu papa sangat kalap karena mendengar dari mama bahwa di desa aku pernah hamil. Masya Allah… hanya kata itu terucap di bibir ku. Mengapa mama tega memfitnah aku, anak yang 9 bulan ada di rahimnya? apa motif dan tujuan mama? mengapa pertengkaran mereka berdua berujung pada fitnah atasku ?…


Banyak pertanyaan bergayut di dadaku, tapi aku hanya senyum menanggapi cerita tante ku. Tante Lala mendesakku agar jujur bercerita padaku tentang pertengkaran yang aku dengar antara papa dan mama. Akhirnya aku bercerita pada tante Lala, awal pertengkaran itu adalah papa meminta ijin untuk menikah lagi. Tentu mama tak mengijinkan akhirnya mereka berdua berantem. Hanya itu yang bisa aku ceritakan pada tanteku, karena aku tak tahu alasan papa marah padaku sebelum tante Lala menceritakannya. Aku jadi berpikir mungkin mama bermaksud mengalihkan emosi papa pada mama menjadi padaku. Ah aku tak tahu, yang aku herankan mengapa mama tega sampai memfitnah ku. Apakah ini kabar dari kakek nenek ? aku tak percaya karena merekalah yang mengetahui kehidupan ku selama ini, dan aku belum pernah hamil. Kalau dekat dengan beberapa teman laki laki memang iya, karena aku mempunyai banyak teman. Tapi hamil ? ckckckck…..


Pertengkaran demi pertengkaran di lalui papa dan mama ku, menjadikan aku tak betah tinggal bersama mereka. Aku memilih ikut dengan tante Lala, dan mengasuh kedua putranya yang balita. Sampai suatu hari mama ku menjemput ku kembali dari rumah tante Lala. Mama meminta ku untuk ikut ke adik mama, tante Sri. Kata mama tante Sri akan memasukkan aku bekerja pada perusahaan tempat dia menjabat sebagai asisten manajer. Aku senang tentu saja, karena aku ingin segera mendapatkan uang sendiri. Untuk meneruskan kuliah sebetulnya banyak saudara papa yang menawarkan diri untuk membiayai, tapi aku menolaknya. Aku tak ingin menjadi beban banyak orang.


Tak mendapatkan kesulitan berarti saat pertama kali bekerja pada perusahaan tekstil tempat tante Sri juga bekerja. Dan karena kesupelan ku aku cepat kenal dengan banyak teman di sana. Sejenak aku melupakan kegetiran hidup yang aku hadapi.


Sampai pada suatu hari, aku kembali terhenyak oleh kenyataan di depan mataku. Saat pulang kerja, aku mendapati foto foto pernikahan siri antara tante Sri dan papa ku. Aku terlempar dalam jurang yang pekat, aku tak tahu mesti berbuat apa. Saat itu juga aku pulang ke rumah mama ku. Semula aku tak mengatakan yang telah terjadi antara papa dan tante Sri yang nota bene adik kandung mama ku, tapi aku terpaksa mengatakan semua setelah mama malah marah padaku karena aku tak mau balik ke rumah tante Sri.


” Mama suruh kamu di sana itu untuk membantu mama ” kata mama dengan nada tinggi. ” Membantu apa ma ? ” kalau masalah uang ntr Riris cari kerja lagi ” kataku mengelak.


” Bukan masalah uang, tapi mama mengirim kau ke sana untuk memata matai papa tersayang mu itu ” kata kata mama semakin keras dan aku kembali terhenyak.


” Aku tidak tahu kalau mereka punya hubungan ” gumam ku masih mencoba mengelak.


” Makanya balik kesana lagi nanti laporkan ke mama apa yang terjadi ” kata mama masih dengan marah.


” Ma, mereka sudah menikah siri ” kataku sudah tidak tahan lagi menahan sesak di dada. Aku tak mau kembali ke rumah itu.


Aku tak menemukan kekagetan dalam diri mamaku.


” Makanya kalau kau di sana papa mu akan malu kalau tiap hari di  tempat tante Sri, jadi papa masih pulang kesini. Lakukan demi mama dan adik adikmu ” kata mama sambil berlalu meninggalkan aku.


Aku tidak mengerti dengan jalan pikiran mama. Yang jelas aku menuruti kemauan mama untuk tetap bekerja dan kembali pulang ke rumah tante Sri. Dan aku memang tak pernah menyinggung masalah pernikahan siri papa dan tante Sri. Karena kupikir itu bukan wewenangku, toh mamaku sudah tahu kenyataanya dan dia diam saja.


Aku tak tahu sampai kapan aku harus menghadapi masalah yang tiada kunjung selesai. Mama sejak awal tak pernah menampakkan kasih sayangnya padaku, sedang papa, walau sayang padaku, tapi dia tak malu malu lagi memeluk tante Sri didepan mataku. Mungkin karena aku tak pernah berkomentar apa apa padanya. Tante Sri, semenjak sah menikah secara siri dengan papa, menajdi orang yang gemar mengatur hidupku. Dia mulai melarangku untuk pergi menginap ke rumah tante Lala, karena dia tahu selama ini aku sering curhat ke tante Lala. Kini aku hadapi apa yang harus aku jalani, tetap tinggal di rumah tante Sri sesuai permintaan mama, dan aku tak pernah ke rumah tante Lala lagi sesuai perintah tante Sri, tanteku sekaligus ibu tiriku.


Hanya pada secarik kertas aku ungkapkan galau hatiku, dan juga pada embun pagi aku curahkan resah jiwaku. Lama lama aku mulai bisa berdamai dengan kesedihanku, aku sudah bisa tersenyum menyapa mentari di kepagian. Biarlah kehidupanku tak sejalan dengan asaku, aku tahu sesuatu akan menjadi indah pada saatnya nanti. Asa yang kuimpikan itu mungkin belum waktunya menjelma jadi nyata. Aku pasrah…
Aku berserah pada Yang Maha Agung…Pemilik kehidupan ini.




# Tuk seorang sahabat,dukamu bukan akhir dari segalanya, justru ini awal dari ujian tuk pencapaian pribadi kokoh dirimu sebagai manusia#


salam sayangku